Politik Transaksional: Ketika Etika Berpolitik Tergadai
Politik, yang seharusnya menjadi wadah pengabdian untuk kemaslahatan publik, kini seringkali terperangkap dalam jerat politik transaksional. Fenomena ini merujuk pada praktik politik yang didasari oleh logika tawar-menawar dan pertukaran kepentingan, alih-alih prinsip, ideologi, atau visi kerakyatan.
Apa Itu Politik Transaksional?
Intinya adalah pertukaran. Suara dibeli dengan janji atau uang, jabatan diperdagangkan, kebijakan diputuskan berdasarkan lobi-lobi finansial atau kesepakatan di balik meja. Fokusnya bergeser dari kepentingan publik menjadi keuntungan pribadi, kelompok, atau partai semata. Bukan lagi tentang bagaimana membangun bangsa, melainkan bagaimana meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan modal seadanya dan imbalan yang diharapkan.
Kemunduran Etika Berpolitik
Praktik transaksional ini secara langsung mengikis fondasi etika berpolitik. Integritas menjadi komoditas, janji-janji kampanye kehilangan makna, dan akuntabilitas pudar. Politisi cenderung memprioritaskan "investasi" politik mereka daripada aspirasi rakyat yang memilihnya. Akibatnya, lahir lah pemimpin yang oportunis, kebijakan yang tidak populis, serta tata kelola pemerintahan yang rentan korupsi dan kolusi.
Kepercayaan publik runtuh, melahirkan apatisme dan sinisme terhadap sistem demokrasi. Masyarakat merasa bahwa suara mereka tidak lagi relevan karena keputusan akhir selalu didikte oleh transaksi kekuasaan.
Dampak dan Jalan Ke Depan
Dampak jangka panjangnya serius: tata kelola pemerintahan yang buruk, stagnasi pembangunan, dan ketidakadilan sosial. Demokrasi kehilangan esensinya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Mengembalikan etika sebagai kompas utama dalam berpolitik adalah keharusan. Ini membutuhkan komitmen kuat dari elit politik untuk mengedepankan integritas, penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi, serta partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan menuntut akuntabilitas para wakilnya. Hanya dengan begitu, politik dapat kembali menjadi instrumen perubahan positif, bukan sekadar arena transaksi kepentingan.
