Mengapa Politik Sering Mengabaikan Kaum Marginal?

Radar Politik yang Mati: Mengapa Suara Marginal Kerap Terabaikan?

Politik, seharusnya menjadi wadah aspirasi bagi seluruh lapisan masyarakat, seringkali gagal menjangkau dan bahkan mengabaikan kaum marginal. Mengapa kelompok yang paling membutuhkan perhatian dan perlindungan ini justru kerap terpinggirkan dalam peta kekuasaan?

Pertama, logika elektoral adalah pemicu utama. Dalam sistem demokrasi, politisi cenderung fokus pada kelompok pemilih yang besar, terorganisir, atau "swing voters" yang dapat menentukan kemenangan. Kaum marginal, seperti fakir miskin, penyandang disabilitas, atau kelompok minoritas tertentu, seringkali memiliki jumlah suara yang relatif kecil, kurang terorganisir, atau dianggap bukan prioritas utama dalam kalkulasi suara untuk meraih kekuasaan.

Kedua, kekuatan ekonomi dan akses lobi memainkan peran besar. Kelompok marginal sering kekurangan sumber daya finansial untuk membentuk organisasi lobi yang kuat, mendanai kampanye, atau menyuarakan kepentingan mereka secara efektif di koridor kekuasaan. Suara mereka tenggelam di antara kepentingan kelompok-kelompok yang lebih mapan dan memiliki daya tawar tinggi.

Ketiga, masalah yang dihadapi kaum marginal seringkali kompleks, sistemik, dan membutuhkan solusi jangka panjang yang tidak populer secara politik atau tidak memberikan hasil instan. Politisi sering lebih memilih program yang mudah terlihat hasilnya dan dapat mendulang dukungan cepat, ketimbang berinvestasi pada isu-isu mendalam yang butuh waktu lama untuk diatasi.

Singkatnya, pengabaian kaum marginal dalam politik adalah cerminan dari prioritas yang didorong oleh kekuatan suara, sumber daya, dan preferensi pada solusi instan. Untuk mengubahnya, dibutuhkan kesadaran kolektif dan dorongan sistemik agar "radar politik" mampu menangkap setiap suara, bahkan yang paling samar sekalipun, demi keadilan sosial yang sejati.

Exit mobile version