Mengukir Pikiran: Politik di Balik Narasi Pendidikan
Pendidikan sering dianggap sebagai menara gading yang netral, tempat ilmu murni diajarkan. Namun, realitanya jauh lebih kompleks. Di baliknya, terdapat tangan-tangan politik yang secara halus maupun terang-terangan menggiring narasi, membentuk cara pandang generasi mendatang. Politik tidak hanya menentukan kebijakan, tetapi juga secara fundamental membentuk apa yang diajarkan dan bagaimana itu diajarkan.
Kurikulum adalah medan tempur utama. Mata pelajaran sejarah, misalnya, seringkali disesuaikan untuk menonjolkan atau menyembunyikan bagian tertentu, membentuk identitas nasional yang diinginkan penguasa. Nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan bisa disisipkan agenda politik tertentu, membentuk warga negara yang diharapkan. Bahkan alokasi anggaran dan prioritas pada bidang studi tertentu mencerminkan visi politik yang sedang berkuasa, mengarahkan investasi pada sektor yang dianggap krusial bagi kelangsungan rezim atau ideologinya.
Dampaknya? Siswa tidak lagi didorong untuk berpikir kritis secara mandiri, melainkan diarahkan pada satu pandangan yang disetujui. Kemampuan untuk mempertanyakan, menganalisis berbagai perspektif, dan membentuk opini pribadi bisa terkikis. Ini membentuk warga negara yang pasif atau setidaknya selaras dengan narasi dominan, alih-alih individu yang mandiri, inovatif, dan berdaya.
Oleh karena itu, penting bagi kita semua—orang tua, guru, dan masyarakat—untuk senantiasa kritis terhadap narasi yang disajikan dalam pendidikan. Memastikan bahwa pendidikan benar-benar memerdekakan pikiran, bukan sekadar alat untuk melanggengkan kekuasaan atau ideologi tertentu. Hanya dengan kesadaran ini, kita bisa melindungi integritas pendidikan dan memberdayakan generasi mendatang.
