Perbandingan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dan Negara Lain

Dari KUHAP ke Juri: Menguak Beda Sistem Peradilan Pidana Indonesia & Dunia

Setiap negara memiliki cara unik dalam menegakkan hukum dan keadilan, terutama dalam sistem peradilan pidana. Meski tujuannya sama—menghukum pelaku kejahatan dan melindungi masyarakat—mekanisme operasionalnya bisa sangat berbeda. Mari kita bandingkan sistem peradilan pidana di Indonesia dengan pendekatan yang lazim di negara-negara Common Law (Anglo-Saxon) seperti Amerika Serikat atau Inggris.

Indonesia: Berakar pada Hukum Tertulis (Civil Law)

Indonesia menganut sistem hukum Civil Law (Kontinental), yang berakar pada hukum tertulis atau kodifikasi (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Ciri khasnya meliputi:

  1. Peran Hakim Aktif (Inquisitorial Elements): Hakim cenderung lebih aktif dalam mencari kebenaran materiil, termasuk dalam tahap penyidikan dan penuntutan, meskipun proses persidangan sendiri memiliki elemen adversarial.
  2. Tanpa Juri: Keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa sepenuhnya berada di tangan majelis hakim profesional. Tidak ada sistem juri yang melibatkan warga sipil.
  3. Fokus Bukti Tertulis: Proses persidangan sangat mengandalkan bukti tertulis dan keterangan saksi yang dicatat dalam berita acara.
  4. Minim Plea Bargaining: Konsep tawar-menawar pengakuan (plea bargaining) relatif jarang dan tidak terstruktur formal seperti di sistem Common Law.

Negara Lain (Common Law): Pertarungan Argumen di Hadapan Juri (Adversarial)

Berbeda dengan Indonesia, negara-negara Common Law menerapkan sistem adversarial (Anglo-Saxon). Ini adalah sistem yang sering kita lihat di film-film Hollywood:

  1. Peran Hakim sebagai Wasit: Hakim bertindak sebagai "wasit" yang memastikan prosedur hukum dipatuhi, sementara jaksa penuntut dan pengacara pembela saling berhadapan untuk menyajikan argumen dan bukti terbaik mereka.
  2. Keberadaan Juri: Ini adalah perbedaan paling mencolok. Juri, yang terdiri dari warga sipil, bertanggung jawab memutuskan fakta dan menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa. Hakim kemudian menjatuhkan hukuman berdasarkan putusan juri.
  3. Fokus Bukti Lisan & Cross-Examination: Proses sangat mengandalkan bukti lisan, pemeriksaan silang (cross-examination) saksi, dan retorika argumen.
  4. Plea Bargaining Umum: Tawar-menawar pengakuan sangat umum. Terdakwa bisa mengakui kesalahan atas tuduhan yang lebih ringan untuk menghindari persidangan penuh dan hukuman yang lebih berat.

Perbedaan Kunci yang Mencolok:

  • Juri vs. Tanpa Juri: Common Law sangat bergantung pada juri; Indonesia tidak.
  • Basis Hukum: Common Law sangat bergantung pada preseden (putusan pengadilan sebelumnya); Indonesia berpegang pada kodifikasi.
  • Tawar-Menawar Pengakuan: Sangat lazim di Common Law; jarang dan tidak formal di Indonesia.
  • Peran Hakim: Wasit di Common Law; lebih aktif mencari kebenaran di Indonesia.

Persamaan Mendasar:

Meskipun berbeda dalam pendekatannya, kedua sistem memiliki prinsip universal yang sama: praduga tak bersalah, hak untuk didampingi pengacara, dan proses hukum yang adil (due process). Tujuannya tetap satu: menegakkan keadilan, menjaga ketertiban, dan menghukum pelaku kejahatan.

Kesimpulan:

Perbandingan ini menunjukkan bahwa tidak ada satu sistem peradilan pidana yang "terbaik". Setiap sistem berkembang sesuai sejarah, budaya, dan filosofi hukum bangsanya. Memahami perbedaannya membantu kita mengapresiasi kompleksitas dan kekayaan cara manusia berjuang mewujudkan keadilan di dunia.

Exit mobile version