Selfie Kekuasaan: Ketika Politik Berpesta di Linimasa
Di era digital ini, politik tak lagi hanya tentang gagasan dan kebijakan. Ia bertransformasi menjadi panggung raksasa, tempat citra dan persepsi memegang peranan vital. Inilah "politik pencitraan", yang kini menemukan sekutunya yang paling ampuh: influencer dan gelombang viralitas.
Dulu, media massa tradisional menjadi gerbang utama informasi politik. Kini, influencer media sosial menawarkan jalur ekspres, langsung ke kantong-kantong pemilih. Mereka membangun koneksi emosional, menyajikan narasi yang lebih personal dan "relatable", seringkali membungkus pesan politik dalam kemasan hiburan yang mudah dicerna. Politisi kini tak ragu tampil di TikTok, berinteraksi di Instagram, atau berkolaborasi dengan kreator konten populer. Mereka berusaha memproyeksikan citra yang diinginkan – merakyat, modern, visioner – seringkali melalui konten yang didesain untuk viral. Autentisitas menjadi mata uang baru, meski terkadang hanya sebatas "autentisitas yang direkayasa" demi mencapai jangkauan dan resonansi massal.
Namun, di balik gemerlapnya linimasa, ada sisi gelap. Politik pencitraan yang didorong viralitas berisiko mengaburkan substansi. Diskusi mendalam digantikan oleh slogan-slogan catchy, rekam jejak tertutup oleh penampilan yang memukau. Ini memupuk populisme, rentan terhadap disinformasi, dan menciptakan generasi pemilih yang mungkin lebih peduli pada ‘like’ daripada kinerja nyata.
Maka, di tengah hiruk pikuk politik digital, tantangannya adalah bagi publik untuk menjadi konsumen informasi yang cerdas. Membedakan antara citra yang dibangun dan substansi yang sebenarnya. Karena pada akhirnya, kedaulatan bukan hanya di tangan suara, tetapi juga di tangan nalar kritis yang tak mudah terpukau oleh kilau sementara di layar gawai.











