Bencana: Antara Niat Tulus dan Kilau Pencitraan Politik
Ketika bencana melanda, sorotan publik tak hanya tertuju pada dampak kerusakan dan upaya penyelamatan, tetapi juga pada kehadiran para politisi dan pejabat. Kehadiran mereka seringkali memicu pertanyaan krusial: apakah ini murni bentuk kepedulian dan bantuan, ataukah sekadar ajang pencitraan politik?
Tak bisa dipungkiri, peran politik dalam penanganan bencana sangat vital. Pemerintah dan politisi memiliki kapasitas untuk menggerakkan sumber daya besar – dana, logistik, tenaga medis, dan relawan. Kebijakan cepat, koordinasi antarlembaga, serta penetapan status darurat adalah wewenang politis yang esensial untuk mempercepat respons. Kehadiran pemimpin di lokasi bencana juga dapat memberikan semangat dan menunjukkan bahwa negara hadir untuk rakyatnya yang tertimpa musibah. Ini adalah manifestasi nyata dari tanggung jawab negara.
Namun, garis antara bantuan tulus dan pencitraan seringkali kabur. Foto-foto pejabat yang membagikan bantuan, kunjungan singkat yang lebih mirip sesi foto, atau pernyataan yang cenderung menyalahkan pihak lain, kerap menimbulkan sinisme di mata publik. Fokus dapat bergeser dari penderitaan korban menjadi narasi keberhasilan personal atau partai politik. Dalam era media sosial, setiap gerak-gerik politisi di lokasi bencana bisa menjadi konten viral, baik positif maupun negatif, memperkuat dugaan bahwa ada motif tersembunyi di balik setiap "bantuan."
Pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menilai. Bantuan politik sejati diukur bukan dari seberapa banyak kamera yang mengabadikan, melainkan dari efektivitas bantuan mencapai korban, transparansi pengelolaan dana, dan keberlanjutan upaya pemulihan pasca-bencana. Pemimpin sejati adalah mereka yang mengutamakan derita rakyat di atas kepentingan elektoral, menjadikan bencana sebagai momentum untuk menunjukkan empati dan kinerja nyata, bukan panggung politik sementara.











