Ketika Hukum Jadi Alat Politik: Studi Kasus Indonesia

Jubah Hukum, Topeng Politik: Ketika Keadilan Tersandera Kuasa di Indonesia

Hukum seharusnya menjadi pilar keadilan, pelindung hak asasi, dan penjamin ketertiban sosial. Namun, di banyak negara, tak terkecuali Indonesia, kita sering menyaksikan ironi: hukum yang seharusnya netral justru mengenakan topeng politik, menjadi alat tawar-menawar kekuasaan. Ketika ini terjadi, keadilan tersandera, dan demokrasi terancam.

Mekanisme Hukum Jadi Alat Politik:

Fenomena ini termanifestasi dalam beberapa bentuk di Indonesia:

  1. Kriminalisasi Lawan Politik: Pasal-pasal karet, terutama dalam UU ITE, kerap digunakan untuk menjerat aktivis, jurnalis, atau oposisi yang bersuara kritis terhadap penguasa. Tujuannya jelas: membungkam perbedaan pendapat dan menciptakan "iklim ketakutan."
  2. Penegakan Hukum Tebang Pilih: Kasus-kasus korupsi atau pelanggaran hukum lainnya bisa dipercepat atau diperlambat, bahkan diabaikan, tergantung siapa yang terlibat dan kepentingan politik apa yang dipertaruhkan. Mereka yang dekat dengan kekuasaan seringkali lolos, sementara lawan politik mudah dikorbankan.
  3. Intervensi Kekuasaan dalam Proses Yudisial: Meskipun independensi peradilan dijamin konstitusi, tekanan politik, lobi-lobi di balik layar, atau bahkan dugaan suap bisa memengaruhi putusan hakim, mengubah arah investigasi, atau mempermainkan interpretasi hukum.
  4. Pemanfaatan Lembaga Negara: Institusi penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK) yang seharusnya independen, kadang kala terjebak dalam pusaran kepentingan politik, digunakan untuk menekan atau melindungi kelompok tertentu.

Dampak Buruknya:

Penggunaan hukum sebagai alat politik memiliki konsekuensi serius:

  • Runtuhnya Kepercayaan Publik: Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada sistem hukum dan lembaga-lembaga negara, merasa bahwa keadilan hanya milik mereka yang berkuasa atau berduit.
  • Melemahnya Demokrasi: Prinsip checks and balances menjadi lumpuh. Oposisi dan masyarakat sipil tidak bisa menjalankan fungsi kontrolnya karena ancaman hukum selalu membayangi.
  • Ketidakpastian Hukum: Hukum tidak lagi menjadi panduan yang jelas, melainkan alat yang bisa dimanipulasi sesuai kebutuhan politik. Ini merugikan investasi, inovasi, dan stabilitas sosial.
  • Pelanggaran HAM: Kebebasan berpendapat, berekspresi, dan hak-hak dasar lainnya menjadi rentan terhadap pembatasan sewenang-wenang atas nama hukum.

Mewujudkan Keadilan Sejati:

Untuk mengembalikan hukum pada khitahnya sebagai penjaga keadilan, bukan pelayan kekuasaan, diperlukan komitmen kuat dari seluruh elemen bangsa: independensi lembaga peradilan, integritas penegak hukum, pengawasan publik yang kuat, serta pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat agar tidak mudah diombang-ambingkan kepentingan sempit. Hanya dengan begitu, jubah hukum bisa kembali bersinar tanpa bayang-bayang topeng politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *